Revolusi industri generasi keempat
saat ini telah dimulai dengan ditandai kemunculan superkomputer, robot pintar,
kendaraan tanpa pengemudi, revolusi pemasaran (e-commerce), perkembangan
neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak
dsb. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia
sebagaimana revolusi generasi pertama, ketika
tenaga manusia dan hewan digantikan oleh kemunculan mesin uap. Revolusi ini
dicatat oleh sejarah berhasil mengerek naik perekonomian secara dramatis di
mana selama dua abad setelah Revolusi Industri terjadi peningkatan rata-rata
pendapatan perkapita Negara-negara di dunia menjadi enam kali lipat. Berikutnya,
pada revolusi industri generasi kedua
ditandai dengan kemunculan pembangkit tenaga listrik dan motor pembakaran
dalam (combustion chamber). Penemuan ini memicu kemunculan
pesawat telepon, mobil, pesawat terbang, dll yang mengubah wajah dunia secara
signifikan. Kemudian, revolusi industri
generasi ketiga ditandai dengan kemunculan teknologi digital dan internet. Pada
revolusi industri generasi keempat
yang saat ini sedang berjalan, ditandai
dengan disruptif teknologi (disruptive technology)
yang hadir begitu cepat dan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan incumbent
dengan matinya perusahaan-perusahaan raksasa.
Pada era industri generasi keempat ini, ukuran besar
perusahaan tidak menjadi jaminan, namun kelincahan
perusahaan menjadi kunci keberhasilan meraih prestasi dengan cepat. Hal ini
ditunjukkan oleh Uber yang mengancam pemain-pemain besar pada industri
transportasi di seluruh dunia atau Airbnb yang mengancam pemain-pemain utama di
industri jasa pariwisata. Ini membuktikan bahwa yang cepat dapat memangsa yang
lambat dan bukan yang besar memangsa yang kecil. Oleh sebab itu, perusahaan
harus peka dan melakukan instrospeksi diri sehingga mampu mendeteksi posisinya
di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada empat tahapan posisi perusahaan di tengah era
disruptif teknologi.
Tahap pertama,
sinyal di tengah kebisingan (signals amidst the noise).
Memahami adanya teknologi baru yang bisa mengancam kelangsungan perusahaan
dengan melakukan re-posisi bisnis usaha seperti yang dilakukan Polygram sebagai
salah satu perusahaan recording terbesar di dunia di era 1990
yang kemudian menjual perusahaannya pada 1998 disaat teknologi MP3 baru saja
ditemukan sehingga pemilik masih merasakan puncak kejayaan Polygram pada saat
itu dan memperoleh nilai (value) penjualan yang optimal. Kemunculan internet yang mengancam
dimanfaatkan oleh Schibsted, salah satu perusahaan media asal Norwegia yang
menggunakan internet untuk mengantisipasi ancaman sekaligus memanfaatkan
peluang bisnis. Perusahaan ini melakukan disruptif terhadap bisnis inti mereka
melalui media internet yang akhirnya menjadi tulang punggung bisnis mereka pada
kemudian hari. Pada tahap ini, perusahaan (incumbent) merespons
perkembangan teknologi secara cepat dengan menggeser posisi nyaman dari bisnis
inti yang mereka geluti mengikuti tren perkembangan teknologi, preferensi
konsumen, regulasi dan pergeseran lingkungan bisnis.
Tahap kedua,
perubahan lingkungan bisnis tampak lebih jelas (change takes hold). Pada
tahap ini perubahan sudah tampak jelas baik secara teknologi maupun dari sisi
ekonomis, namun dampaknya pada kinerja keuangan masih relatif tidak signifikan
sehingga belum dapat disimpulkan apakah model bisnis baru akan lebih
menguntungkan atau sebaliknya dalam jangka panjang. Namun, dampak yang belum
signifikan ini ditanggapi secara serius oleh Netflix tahun 2011 ketika
menganibal bisnis inti mereka yakni menggeser fokus bisnis dari penyewaan DVD
menjadi streaming. Ini merupakan keputusan besar yang berhasil
menjaga keberlangsungan perusahaan pada kemudian hari sehingga tidak mengikuti
kebangkrutan pesaingnya, Blockbuster.
Tahap ketiga,
transformasi yang tak terelakkan (the inevitable transformation).
Pada tahap ini, model bisnis baru sudah teruji dan terbukti lebih baik dari
model bisnis yang lama. Oleh sebab itu, perusahaan incumbent akan
mengakselerasi transformasi menuju model bisnis baru. Namun demikian, transformasi
pada tahap ini akan lebih berat mengingat perusahaan incumbent relatif
sudah besar dan gemuk sehingga tidak selincah dan seadaptif
perusahaan-perusahaan pendatang baru (startup company) yang hadir dengan
model bisnis baru. Oleh sebab itu, pada tahap ini perusahaan sudah tertekan
pada sisi kinerja keuangan sehingga akan menekan budget bahkan
mengurangi beberapa aktivitas bisnis dan fokus hanya pada inti bisnis
perusahaan incumbent.
Tahap keempat,
adaptasi pada keseimbangan baru (adapting to the new normal).
Pada tahap ini, perusahaan incumbent sudah tidak memiliki
pilihan lain selain menerima dan menyesuaikan pada keseimbangan baru karena
fundamental industri telah berubah dan juga perusahaan incumbent tidak
lagi menjadi pemain yang dominan. Perusahaan incumbent hanya
dapat berupaya untuk tetap bertahan di tengah terpaan kompetisi. Pada tahap
inipun para pengambil keputusan di perusahaan incumbent perlu
jeli dalam mengambil keputusan seperti halnya Kodak yang keluar lebih cepat
dari industry fotografi sehingga tidak mengalami keterperosokan yang semakin
dalam.
Berdasarkan empat tahapan posisi perusahaan di era disruptif
teknologi , sudah seharusnya setiap perusahaan mulai melakukan deteksi dini
atau AUDIT TEKNOLOGI yang dimilki perusahaan
sehingga dapat mampu melakukan langkah antisipasi yang tepat. Tantangan terberat
biasanta terjadi pada perusahaan besar yang market leader di
mana biasanya merasa superior dan merasa serangan disruptif teknologi hanya
ditujukan kepada kompetitor minor yang kinerjanya tidak baik. Oleh sebab itu,
perusahaan incumbent perlu terus bergerak cepat dan lincah
mengikuti arah perubahan lingkungan bisnis dalam menyongsong era revolusi
industri generasi keempat (Industry 4.0).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar